Kolase foto Ketua PWI Kerinci, Dedi Dora dan DPRD Kota Sungai Penuh Melaksanakan Rapat. SUNGAI PENUH, Cuitan.id — Di tengah gencarnya kampanye keterbukaan informasi publik, langkah DPRD Kota Sungai Penuh dan DPRD Kabupaten Kerinci justru berlawanan arah. Tahun anggaran 2025, dua lembaga legislatif ini secara mengejutkan menghapus total anggaran publikasi dan kemitraan media.
Kebijakan ini menimbulkan gelombang kritik keras dari kalangan jurnalis dan organisasi pers. Mereka menilai, penghapusan anggaran tersebut bukan sekadar langkah efisiensi, tapi indikasi nyata ketakutan terhadap transparansi dan kritik publik.
Ketua PWI Kabupaten Kerinci, Dedi Dora, menyebut keputusan ini sebagai bentuk kemunduran besar dalam praktik demokrasi lokal.
“Ini bukan hanya soal dana, tapi soal kemauan untuk terbuka. Di Humas DPRD malah lebih parah, tahun ini tidak ada anggaran sama sekali. Ini sama saja mematikan fungsi publikasi lembaga legislatif,” tegasnya.
Menurut Dedi, DPRD seharusnya menjadi contoh dalam hal keterbukaan informasi, bukan justru menutup akses media dan mengebiri hak publik untuk tahu. Tanpa publikasi yang sehat, masyarakat kehilangan pandangan terhadap kinerja wakil mereka.
“Fungsi komunikasi publik di DPRD itu penting untuk akuntabilitas. Kalau ruang publikasi dimatikan, maka publik hanya dapat tahu versi yang ingin mereka tampilkan saja,” ujarnya.
Lebih jauh, Dedi mengungkap fenomena lain yang tak kalah mencengangkan: munculnya tekanan terhadap media yang memberitakan hal-hal yang tidak sejalan dengan keinginan pihak legislatif.
“Ada ancaman, kalau berita tidak menguntungkan, anggaran kerja sama media di Kominfo bisa dicoret. Ini bukan efisiensi, ini tekanan terhadap kebebasan pers,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Langkah ini menambah daftar panjang kemunduran arah kebijakan komunikasi publik di dua daerah tersebut. Di saat pemerintah pusat mendorong transparansi digital dan kolaborasi media, DPRD di Kerinci dan Sungai Penuh justru menutup pintu dialog dengan media lokal.
Bagi kalangan pers, kebijakan ini bukan semata kehilangan proyek kerja sama, melainkan pukulan terhadap prinsip kemitraan dan kontrol sosial. Media, kata Dedi, bukan alat pencitraan, tapi pilar keempat demokrasi.
“Efisiensi penting, tapi jangan bunuh kanal komunikasi publik. Tanpa media, pemerintah kehilangan jendela kepercayaan masyarakat,” tambahnya.
Sejumlah pengamat juga menilai, penghapusan anggaran publikasi menunjukkan mental anti-kritik yang masih kuat di tubuh lembaga legislatif daerah. Transparansi seolah hanya jargon, sementara praktiknya mengarah pada pembungkaman halus terhadap media.
“Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya media yang tersingkir, tapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang,” ujar salah satu pengamat politik lokal.
Menanggapi situasi ini, PWI Kerinci berencana mengajukan pertemuan resmi dengan pimpinan DPRD dan kepala daerah untuk meninjau ulang arah kebijakan komunikasi publik di tahun anggaran 2026.
“Kami tidak ingin hubungan pemerintah dan media rusak hanya karena kebijakan yang salah arah. Jangan jadikan efisiensi sebagai alasan untuk membungkam,” tutup Dedi Dora. (*)
Tidak ada komentar