Tumpukan rokok ilegal alias tanpa cukai dalam rilis kasus pengungkapan rokok ilegal di Kejari Garut. KERINCI, Cuitan.id – Peredaran rokok ilegal di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Jambi, semakin tak terkendali. Warga menilai pemerintah, terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, lamban dan terkesan tutup mata terhadap praktik pelanggaran hukum yang sudah berlangsung lama.
Di berbagai lokasi, mulai dari pasar kota hingga pelosok desa, rokok tanpa pita cukai beredar bebas dan dijual dengan harga jauh di bawah pasaran. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana pengawasan aparat selama ini?
Sejumlah warga yang ditemui Cuitan.id mengaku bahwa aktivitas jual-beli rokok ilegal di wilayah mereka bukan rahasia umum. Bahkan, sudah lama menjadi praktik terbuka yang seolah mendapat perlindungan dari pihak tertentu.
“Semua tahu siapa yang bermain. Tapi tidak ada yang berani menindak. Kalau bukan karena ada orang kuat di belakangnya, mana mungkin bisa bebas seperti ini?” ujar seorang warga Sungai Penuh, Selasa (28/10).
Warga lainnya juga menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang terkesan membiarkan situasi ini berlangsung tanpa tindakan nyata.
“Bea Cukai tahu, Polisi tahu, tapi tidak ada yang bergerak. Padahal kerugian negara besar sekali,” imbuhnya.
Fenomena ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menggerus pendapatan negara dari sektor cukai. Rokok ilegal dijual hingga setengah harga dari rokok legal, membuat produk resmi tidak mampu bersaing.
Seorang pemilik kios di Kerinci mengaku penjualannya turun drastis karena pelanggan beralih ke rokok tanpa pita cukai.
“Kami pedagang kecil yang jual rokok resmi jadi susah. Harga rokok ilegal terlalu murah,” ujarnya.
Menurut catatan Kemenkeu, setiap batang rokok tanpa pita cukai berarti potensi kerugian cukai dan pajak yang seharusnya masuk ke kas negara. Jika dibiarkan, nilainya bisa mencapai miliaran rupiah per tahun.
Pejabat Kemenkeu, Purbaya, sebelumnya menyoroti maraknya rokok ilegal di Provinsi Jambi, terutama yang masuk melalui jalur laut seperti Tungkal. Ia telah memerintahkan Bea Cukai Jambi untuk melakukan investigasi dan penindakan.
“Kami sudah menerima laporan. Saya minta Bea Cukai Jambi turun langsung ke lapangan dan lakukan tindakan tegas,” tegasnya.
Namun, masyarakat menilai langkah itu belum menyentuh daerah pegunungan seperti Kerinci dan Sungai Penuh, di mana jaringan distribusi rokok ilegal diduga jauh lebih terstruktur dan kuat.
“Masalahnya bukan cuma di pelabuhan. Di sini (Kerinci) sudah ada jaringan distribusi yang rapi, ada backing kuat,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.
Warga Kerinci dan Sungai Penuh kini menuntut penegakan hukum yang tegas dan transparan. Mereka meminta Bea Cukai tidak hanya menyasar pedagang kecil, tetapi mengungkap aktor besar dan penyokong di balik bisnis haram ini.
“Kalau pemerintah serius, tangkap yang di belakangnya. Jangan cuma razia di warung,” tegas salah satu warga.
Selain itu, publik berharap adanya audit dan laporan terbuka dari Bea Cukai Jambi terkait hasil operasi dan langkah konkret dalam memberantas rokok ilegal.
Purbaya mengaku telah membuka saluran pengaduan khusus agar masyarakat bisa melaporkan praktik peredaran rokok ilegal secara aman dan rahasia.
“Kami punya nomor pengaduan langsung. Silakan lapor, semua akan kami tindaklanjuti,” ujarnya.
Namun, sebagian warga masih skeptis. Mereka menilai tanpa komitmen nyata dan tindakan hukum terhadap jaringan besar, saluran pengaduan itu hanya akan menjadi formalitas belaka.
Kasus rokok ilegal di Kerinci dan Sungai Penuh kini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum dan menjaga penerimaan negara.
Apabila dibiarkan berlarut, praktik ini bukan hanya merugikan fiskal negara, tetapi juga merusak moral dan keadilan usaha di daerah. Masyarakat pun menunggu, apakah Kemenkeu dan Bea Cukai benar-benar berani membongkar “jaringan besar” yang sudah lama mengakar di wilayah pegunungan Jambi ini. (*)
Tidak ada komentar